Ini ceritaku saat kemarin praktikum Survey
Satelit [Sursat] dengan menggunakan GPS Geodetic pada hari Jum’at, 14 Desember.
8 titik telah ditentukan dan ditandai lewat
Google Map : titik dekat Ikan Bakar Cianjur, Taman Diponegoro, Rinjani, Tugu
Muda, Mc Donald Pandanaran, Simpang 5, Super Penyet, dan Stasiun Poncol .
Kebetulan, tim dimana kubergabung mendapat bagian menjaga titik pengukuran di
daerah Simpang 5. Sungguh ini daerah yang bisa dibilang enak. Berada di
perkotaan, depan sana ada masjid Baiturrahman, ada mall, jajanan banyak
dimana-mana. Biasanya kalau praktikum ‘ngukur’ di daerah yang bisa dibilang
agak jauh dari peradaban. Misalnya saja di kebun-kebun atau sungai, dan
pastinya tempatnya tidak ramai.
Kami sekelompok tiba di Simpang 5 sekitar
pukul 11.00. Sambil menunggu kiriman GPS dari tempat pengukuran yang lain ada
di antara kami yang berbincang-bincang, jalan-jalan di mall, atau sekedar jajan
untuk menghilangkan rasa lapar. Sebenarnya, pengukuran ini hanya memerlukan
waktu yang sebentar saja. 1 kali merekam data satelit hanya membutuhkan waktu
10 menit saja. Jadi lama karena alat yang ada tidak sebanyak jumlah tim yang
ada sehingga dalam menggunakan alat harus bergantian. Seharusnya ada 4 alat,
namun yang berfungsi hanya 2.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul
16.15 dan kami pun masih berada di daerah yang sama. Setelah selesai shalat
ashar, minum es ronde, dan menyusun strategi pengukuran baru, kami mengatur
lagi siapa yang masih tetap berjaga di Simpang 5 dan siapa yang akan ke
Rinjani. Nah, dan tersisalah 4 orang di Simpang 5. Saya dan tiga orang teman (Eva,
Kautsar, David) yang notabenenya sejak awal pemberangkatan memang sudah bersama.
Karena alat masih dipakai kelompok lain, kami memutuskan untuk menunggu saja
sambil duduk-duduk dan menanti kedatangan 1 lagi teman kami, Rizal, yang
membawa mobil untuk pulang.
Karena bosan, akhirnya kuputuskan untuk
mampir ke Gramedia. Letaknya tak jauh di balik Masjid Baiturrahman. Sekitar
setengah jam saya asyik membaca dan melihat-lihat di Gramedia. Mengingat saya tidak
membawa alat komunikasi dan hanya pergi sendiri, jadi kuputuskan saja untuk
kembali bergabung bersama 3 orang yang lain.
Ketika kembali, ada 1 hal menarik yang saya
lihat. Ada 2 orang anak kecil sedang berayun-ayun di atas rantai besar yang
menjadi penyambung antara dua besi pembatas jalan.
Sebentar saja saya lihat, lalu saya kembali
duduk bersama Eva, Kautsar, David. Ternyata mereka bertiga pun sedang
memperhatikan kedua anak itu. Kuperhatikan lagi, yang satu laki-laki kira-kira
berumur 5 tahun dan satu lagi perempuan sekitar berusia 3 tahun. Sepertinya
mereka kakak adik. Menurut informasi dari ketiga teman, ternyata mereka berdua
sudah bermain bersama itu sedari tadi.
Setelah puas berayun, mereka bermain
kejar-kejaran. Tidak, lebih tepatnya sang kakak menendang-nendang gelas kertas
bekas minuman lau dikejar oleh sang adik. Mereka sangat terlihat tak terurus,
lihat saja kakinya yang sangat kotor, baju yang lusuh, wajah yang kucel. Kulihat
ada tumpukan koran di dekat sandal mereka yang ditaruh dekat besi pembatas yang
berantai itu. Ah, ternyata mereka loper koran. Bayangkan, anak sekecil itu
sudah harus bisa menghasilkan uang! Di saat anak-anak yang lain menikmati masa
kecilnya dengan bermain dan mendapat banyak hal yang menyenangkan dari orang
tuanya. Melihat mereka tertawa senang, saya dengan teman-teman seakan ikut
merasakan kesenangan itu. Hidup itu sekarang, maka nikmatilah. Seakan mereka
ingin menyampaikan begitu pada dunia. Namun, di saat yang sama saya merasa
miris dengan keadaan mereka.
Puas bermain-main, sang kakak kemudian mengajak
adiknya untuk berjualan koran lagi. Mereka mulai menjajakannya pada setiap
orang yang dilewatinya, termasuk kami. Ada niat untuk membeli koran itu tapi
lebih kupilih untuk mengamatinya saja dulu.
“Terima kasih, nggak dik…”
Lantaran tawarannya itu ditolak, sang kakak
semakin semangat untuk menjajakan koran dan bertekad harus ada korannya yang
terjual. Mereka mulai menuju ke tempat makan yang penuh dengan orang-orang di
emperan jalan itu.
Seorang perempuan berusia sekitar 24-25
tertarik untuk member koran. Mungkin karena kasihan, jadi dia membeli. Kulihat
ekspresi sang kakak, dia senang. Beralih pada adiknya, dia lebih senang. Lalu,
beberapa koran pun terjual. Mereka terus berjalan ke depan sampai tak dapat
lagi kulihat. Penasaran, kuarahkan pandanganku pada jalan bekas mereka lewat.
Tak lama kemudian, kakak-beradik itu muncul lagi. Sang adik muncul pertama dengan
makanan yang ditusuk oleh tusukan sate sedang mulutnya sibuk mengunyah makanan
itu. Jumlah koran di tangan sang kakak pun sudah berkurang. Mereka melewati
kami lagi, kali ini dengan jarak yang lebih jauh di depan kami daripada
sebelumnya.
Merekapun duduk di dekat besi pembatas
lagi. Di belakang mereka ada seorang bapak tua penjual kacang rebus. Si adik
melihat terus pada kacang rebus yang mengunung di gerobak itu. Pengertian, sang
kakak berdiri disusul sang adik walhasil bapak tua itu dengan kemurahan hatinya
member sedikit kacang pada mereka. Mereka duduk lagi. Dengan telaten, sang
kakak mengupas kacang untuk adiknya dan diri sendiri tentunya. Tak lama
kemudian, kacang pun habis namun sang adik masih ingin lagi. Berdirilah ia lalu
berjalan menghampiri bapak itu lagi. Untuk kedua kalinya, bapak tua memberikan
kacang lagi sembari tersenyum. Senang, sang adik memberikan kacang itu pada
kakaknya dan mereka kembali makan bersama.
Kutunggu saja sampai mereka selesai. Saat
ingin menghampiri mereka, langkahku tertahan karena ada 4 orang muslimah
berjilbab orange menghampiri mereka terlebih dahulu. Ada yang member uang, ada
juga yang permen. 4 orang pun berlalu, dan dengan penuh inisiatif sang kakak
kembali mendatangi bapak penjual kacang rebus lalu menyerahkan selembar uang
Rp.1000,- untuk membeli kacang. Membeli akan dapat kacang lebih banyak daripada
meminta, kan? Dengan sigap, bapak itu mengambil kertas dan membentuknya menjadi
kerucut tanpa alas lalu mengisikan banyak kacang ke dalamnya, sampai kertas itu
penuh.
Oke.
Saya semakin mantap untuk membeli koran mereka. Hitung-hitung membantu
dan kebetulan sekali ada coklat di tas saya. Semoga nanti mereka mau
menerimanya, batinku.
Lalu sang kakak menerima kacang itu dan
adiknya senang sekali. Tak dapat kudengar apa yang mereka bicarakan, tapi
kuyakin sebelum pergi sang kakak mengucapkan terima kasih dulu. Perkiraanku
salah, mereka tidak duduk lagi tetapi langsung berjalan menuju masjid.
“Nah, kan mereka pergi. Kesempatan berbuat
baik telah terlewat deh.” Kata seorang temanku.
Tidak! Jangan sampai terlewat. Maka
langsung aku berjalan menyusul mereka. Mereka berhenti di tengah tangga menuju
masjid. Lalu kupanggil dan kuhampiri.
“Dik, kakak boleh beli korannya?”
Yang lebih tua mengangguk, lalu menyodorkan
korannya padaku.
“Berapa ini harganya?”
“Seribu kak.”
“Kalau kakak kasih 2000 mau nggak?”
Sorot mata anak ini memancarkan
keoptimisan, keberanian, dan pribadi yang kuat. “Nggak kak. Ini harganya cuma seribu.”
Aih, kata-kata anak ini memuatku terenyuh.
Seorang bocah saja bisa membedakan mana yang seharusnya jadi haknya dan mana
yang tidak. Malu dong seharusnya itu pejabat-pejabat yang koruptor *eh.
Saya tersenyum. “Pinter ya. Kalau nggak mau
dikasih uang lebih. Terima coklat dari kakak mau ya?”
Bocah itu tampak berpikir lalu melirik
adiknya. “Buat dia aja, kalau dia mau.”
Kusodorkan coklat itu pada adiknya.
Alhamdulillah dia mau menerimanya dengan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Subhanallah… Anak jalanan pun tahu bagaimana cara berterima kasih.
“Dimakan bareng-bareng yaa..” Pesanku sebelum
mereka pergi meninggalkanku.
Cerita ini cerita sederhana. Kejadiannya
pun mungkin sering terlihat di sekitar teman-teman semua. Tapi, dari sini,
sembari praktikum kudapati lagi pelajaran tentang kehidupan. Mereka saja yang
masa depannya entah bagaimana, masih saja giat untuk berusaha. Mereka jauh
lebih baik daripada orang-orang yang mengemis. Terlebih pengemis yang masih
terlihat sehat. Mereka jujur, mereka tahu diri, mereka mandiri walau hidup yang
mereka jalani terbilang keras. Tentu berbeda dengan orang yang masih diberi
kesempatan sampai sekarang berada di bangku kuliah, menerima kiriman uang tiap
minggu atau tiap bulan dari orang tua, makan tinggal makan, tidur tinggal
tidur, belajar tinggal belajar. Mereka bisa bertahan, mereka bisa menikmati
hidup. Kita? Seharusnya kita bisa lebih dari mereka bukan? Kejadian yang
membuatku cukup terenyuh, semoga menginspirasi.
0 komentar:
Posting Komentar