"Hei anak muda, wajahmu memancarkan kegembiraan pagi ini!" Kudengar ia berkata kepada seorang lelaki yang duduk di sebelahnya di bangku paling belakang di bus ini.
Kikuk, yang disebut anak muda hanya mengangguk dan tersenyum menghormati.
"Pasti karena perempuan cantik di sebelahmu kan? Pacarmu?" Tebaknya.Penasaran, kuperhatikan perempuan yang duduk di samping pemuda itu. Cantik, lembut, perhatian, tidak enakan jika berbuat salah pada orang, cengeng. Ya, itulah kesan yang bisa kutangkap dari penampilan dan sorot matanya.
"Iya, Pak." Jawab pemuda itu sekenanya karena merasa privasinya terganggu.
Ia tersenyum. "Kuliah?" Tanyanya yang lebih terdengar seperti menginterogasi.
"Tidak, Pak. Saya tidak kuliah." Pemuda itu menjawab ringan, tanpa beban.
"Lho? Kenapa?" Ia penasaran.
Menghela napas pendek, lalu pemuda itu menjawab. "Karena tidak ada biaya."
Mimik wajahnya berubah menjadi lebih serius. "Hei anak muda! Kau tahu tidak? Anak seorang tukang becak pun bisa menjadi dokter." Katanya berapi-api. "Orang tuamu kerja apa?"
"Di desa, Pak." Ya ampun, pemuda itu datar sekali menurutku.
"Punya motor?" Ia bertanya lagi.
"Punya."
"Biasanya dipakai apa?"
"Jalan-jalan. Kongkow bareng temen."
"JUAL!!! Lalu gunakan itu untuk biaya kuliah!"
"Hahhh????" Kali ini kulihat ekspresi yang benar-benar mencengangkan. Terlepas dari kedatarannya tadi, sekarang dari wajahnya tersirat bahwa dalam pikiran orang ini, orang ini menggerutu : siapa lo? seenak jidat nyuruh gue jual motor!
Pak Tua berwajah kearab-araban itu tertawa. "Umurmu berapa memang nak?"
"19 tahun." Pemuda itu masih kesal.
"Kau tahu tidak? Laki-laki itu harus pintar dan berpendidikan. Harus kuliah. Seorang perempuan pasti akan bahagia ketika pendamping hidupnya adalah orang yang cerdas dan berwawasan luas. Bagaimanapun, lelaki itu akan jadi kepala keluarga dan harus bisa menjadi contoh."
Hening sejenak.
"Hei." Panggilnya kepada perempuan yang tadi disebut pacar pemuda itu. "Kau kuliah atau-"
Belum sempat ia menyelesaikan pertanyaannya, perempuan bermata sayu itu menjawab, "Kuliah."
"Semester berapa?"
"Dua." Yeah, sudah kuduga kalau dia memang lebih muda dariku.
"Lihat, pacarmu saja kuliah. Di kampus banyak laki-laki yang berparas lebih rupawan darimu dan punya masa depn yang lebih jelas." Ckckck. Bapak ini benar-benar bicara seenaknya pada pemuda itu.
"Dia cinta kok sama saya. Mau keadaan saya bagaimanapun, dia akan tetap sayang sama saya. Begitupun saya ke dia." Bela pemuda itu dan sang pacar pipinya merona merah.
"Nggak jamin. Percaya sama saya, kalau kamu nggak lanjutin jenjang pendidikanmu dan segera memperbaiki hidup. Pasti dia akan memilih yang lain." Yakin sekali ia berkata.
Sang pacar hanya diam saja. Mungkin bingung harus berkata apa. Gumpalan air mata, kulihat siap jatuh dari matanya tapi perempuan itu menahannya agar tidak jatuh.
"Tidak usah sedih begitu." Katanya pada perempuan itu. "Sekarang jujur. Ingin punya pendamping hidup yang sukses atau tidak jelas?"
"Sukses lah Pak." Jawab perempuan itu.
"Kalau ingin sukses harus apa?" Bapak ini hobi sekali bertanya.
Seperti mengingat sesuatu, perempuan itu menjawab, "Rajin dan belajar sampai jenjang yang tinggi, minimal S1. Itu kata orang tua saya."
Hei, sadar tidak sih perempuan itu bicara? Kalau orang tuanya ingin anaknya sukses dengan jalan seperti itu, berarti orang tuanya pun ingin kalau nanti anaknya mendapat pendamping yang seimbang bukan? Nah, kan. Sekarang pemuda itu tertunduk mendengar sang pacar berkata seperti itu.
"Hei, bung! Dengar apa kata pacarmu. Kau sanggup tidak? Kuliah? Jual motor?"
Perempuan baik itu menautkan tangannya pada tangan sang kekasih. "Tapi Pak, ketika saya mencintai seseorang, asalkan dia juga cinta sama saya, saya tidak akan memandang bagaimana backgroundnya. Yang penting dia tulus mencintai saya."
Heh? Sesederhana itu mencintai?
Ia lalu terus menanyai mereka bergantian. Dari mana asalnya. Mengapa mereka bisa bertemu yang ternyata mereka satu kampung. Ternyata pemuda itu bukan pengangguran alias bekerja walaupun ringan dan tidak tetap. Bla... Bla... Bla... dan akhirnya ia memberi petuah.
"Kalau ingin sukses itu syaratnya : satu, jangan minder. Dua, berani. Tiga, bersungguh-sungguh. Saya mungkin terlihat hebat. Wajah saya garang. Badan besar sehingga memberi kesan segan. Tapi kalian tahu? Saya hanyalah Pak Tua yang hidupnya penuh penyesalan. Saya adalah orang bodoh. Saya tidak sekolah sampai akhir. Saya tidak kuliah. Dan saya sangat menyesal karenanya. SANGAT MENYESAL!!! Mungkin sekarang belum terasa, sama, saya dulu juga seperti itu. Tapi nak, yakin, pada akhirnya kau akan menyesal. Jauh... Sampai jauh di lubuk hatimu kau akan menyesal. Sampai dada ini terasa sesak dan hati seakan dicabik-cabik tanpa ampun. Saya ingin sudah cukup sampai generasi saya yang begini. Jangan ada lagi laki-laki yang menyesali masa lalunya karena ia tidak kuliah. Uang bukan masalah, yang penting keinginan. Apapun bisa terwujud jika ada niat dan usaha yang besar. Ingat itu anak muda!"
Aku terhenyak mendengar penuturan Pak Tua itu. Mengalir, sungguh tak terbersit sedikitpun olehku kalau bapak ini sedang berbohong. Dia jujur, dia benar-benar menyesal. Orang segarang diapun masih bisa memperlihatkan sisi melankolisnya yang membuat orang-orang di sekitarnya bisa masuk dan merasakan apa yang dia alami. Sebuah penyesalan panjang dan kesedihan yang mendalam itu berkumpul dalam tangannya yang mengepal, semakin lama kepalannya semakin kuat sehingga memperlihatkan urat-urat pada tangannya. Seolah ia menggenggam semua kepedihannya dan ingin membuangnya, namun tidak bisa karena dalam memorinya masih tersimpan dengan rapi kenangan yang tidak mau terulang lagi pada orang selainnya.
Bersambung...
Inspiring everywhere,
Akabara Hikari ^^